Minggu, 14 November 2010

ULUMUL QUR'AN


Al Qur’an adalah mukjizat islam yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah subhanahu wa ta’ala menurunkannya kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan menuju cahaya Ilahi dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada rasulullah.

Imam bukhari dan muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radiyallahu anhu, bahwa ketika turun ayat

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ ﴿٨٢﴾


“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS: al an’am: 82).

Para shahabat merasa keberatan dengan ayat tersebut. Lalu mereka bertanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wahai rasulullah, mana ada orang yang tidak mendzalimi dirinya?”. Beliau menjawab, “Pemahamannya tidak seperti yang kalian maksudkan, tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan seorang hamba yang shaleh kepada anaknya.”

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴿١٣﴾


“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(QS: Luqman: 13)

Para shahabat sangat bersemangat untuk mendapatkan pengajaran al qur’an dari rasulullah. Mereka ingin menghafal dan memahaminya. Bagi mereka, ini merupakan suatu kehormatan. Seiring dengan itu, mereka juga bersungguh-sungguh mengamalkan dan menegakkan hukum-hukumnya.

Abu abdirahman As-sulami meriwayatkan, bahwa orang-orang yang biasa membacakan al qur’an kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud serta yang lainnya, apabila mereka belajar sepuluh ayat dari nabi shallallahu’alaihi wa sallam, mereka enggan melewatinya sebelum memahami dan mengamalkannya. Mereka mengatakan, kami mempelajari al qur’an, ilmu dan amal sekaligus.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengizinkan mereka menulis apapun selain al qur’an, sebab ditakutkan dapat tercampur aduk dengan yang lain. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-khudri, bahwa rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “janganlah sekali-kali menulis apapun dariku. Barangsiapa menulis sesuatu selain al qur’an dariku maka hapuslah. Sampaikanlah haditsku tidak masalah. Namun barangsiapa mendustakan aku dengan sengaja, maka nerakalah tempatnya”

Sekalipun rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengizinkan sebagian shahabatnya setelah itu menulis hadits, sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan al qur’an masih tetap bersandar pada riwayat, yaitu melalui talqin (belajar al qur’an langsung dari seorang guru yang memiliki sanad bersambung kepada Nabi). Demikianlah yang terjadi pada masa Rasul, masa khalifah Abu Bakar dan Umar radiyallahu anhuma. Lalu pada masa khalifah Utsman radiyallahu anhu, sesuai dengan tuntutan kondisi, membuat suatu ijtihad, yaitu demi menyatukan kaum muslimin dengan pedoman satu mushaf yang kemudian diberi nama mushaf al-Imam. Selanjutnya, mushaf tersebut dikirim ke berbagai negeri saat itu. Adapun tulisan huruf-hurufnya disebut rasm Utsmani, yang dikaitkan dengan nama Khalifah Utsman. Langkah ini adalah awal munculnya ilmu penulisan rasm al qur’an.

Kemudian khalifah Ali radiyallahu anhu menyuruh Abul Aswad Ad-Duali untuk menggagas kaidah nahwu, demi menjaga adanya kekeliruan dalam pengucapan dan untuk memantapkan bagi pembacaan al qur’an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal dari munculnya ilmu i’rab al qur’an.

Para shahabatpun meneruskan tradisi memahami makna-makna al qur’an dan tafsirnya sesuai dengan kondisi mereka masing-masing, baik kemampuan yang berbeda dalam memahami maupun intensitas dalam kedekatannya dengan rasulullah. Selanjutnya, dalam kondisi demikianlah murid-murid para shahabat dari kalangan tabi’in mengambil ilmu dari mereka.

Diantara para mufasir yang terkenal di kalangan para shahabat nabi adalah empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin az-Zubair.

Adapun dari kalangan tabi’in, tidak sedikit yang menimba ilmu dari shahabat dan kemudian melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat. Di antara murid-murid Ibnu Abbas yang cukup termasyhur adalah Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan al Yamani dan Atha’ bin Rabah.

Murid Ubay bin Ka’ab yang popular di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al Qurazhi. Di Iraq terdapat beberapa murid Abdullah bin Mas’ud yang juga terkenal sebagai mufassir. Mereka yaitu Alqamah bin Qais, Masruq bin al-Alda’, Aswad bin yazid, Amir asy-sya’bi, Hasan al bashri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.

Adapun jenis ilmu yang diriwayatkan dari mereka itu mencakup: ilmu tafsir, ilmu gharib al qur’an, ilmu asbab an-nuzul, ilmu makkiyah dan madaniyah dan ilmu nasikh-mansukh. Tetapi, semua ini diriwayatkan dengan cara talqin (belajar dari guru).

Pada masa selanjutnya, sekelompok ulama melakukan penafsiran secara komprehensif terhadap al qur’an sesuai tertibnya ayat yang ada dalam mushaf. Di antara mereka yang terkenal adalah Ibnu Jarir ath-thabari (wafat 310H).

Demikianlah, pertama kali tafsir dilakukan dengan metode dari mulut ke mulut dan periwayatan, lalu mengalami proses kodifikasi, tapi masih masuk dalam bab-bab hadits. Lalu pada tahap berikutnya dikodifikasikan secara mandiri. Kemudian muncul tafsir bil ma’tsur (yang menggunakan dalil-dalil dari al qur’an, hadits nabi, serta perkataan para shahabat dan salafush-shalih) dan tafsir bir-ra’yi (yang menggunakan akal atau pendapat pribadi).

Inilah beberapa kajian yang dikenal sebagai studi ilmu-ilmu al qur’an. Sekarang kita beralih kepada definisi singkat tentang Ulumul Qur’an.
‘ulum adalah bentuk plural dari ‘ilm. ‘Ilm sendiri maknanya adalah al fahmu wa al-idrak (pemahaman dan pengetahuan). Kemudian pengertiannya dikembangkan kepada kajian berbagai masalah yang beragam dengan standar ilmiah.

Dan yang dimaksud dengan ‘Ulum Al-Qur’an yaitu suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian al qur’an seperti: pembahasan tentang asbab an-nuzul, pengumpulan al qur’an dan penyusunannya, masalah makkiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabihat dan lain-lain.

Terkadang ulumul Qur’an juga disebut sebagai ushul at-tafsir (dasar-dasar/ prinsip-prinsip) karena memuat berbagai pemahaman dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Al-Qur’an.

(disadur dari kitab mabahits fi ‘ulumul qur’an, syaikh Manna’ al Qaththan, bab 1)


Sumber : belajarislam.com

Pengantar 'Ulumul Qur'an

Ibnu Rajab: "Dengki adalah perasaan tidak suka kalau ada orang lain yang mengunggulinya atau melebihinya dalam salah satu kelebihan yang dimilikinya" (Jamiul Ulum wal Hikam)

Sejarah Tafsir dan Perkembangannya



SEJARAH TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA

(pengungkapan) dan
(menjabarkan kata yang samar ). 1
Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau
menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. 2
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi
kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang
merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah
dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern
sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode
yaitu :
Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab
mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka
yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui
kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang
terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif
dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling
mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada
sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan
kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka
memikirkan, (QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah
bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar
membaca firman Allah :

kemudian Rasulullah bersabda :

“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda
tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
Tafsir Pada Zaman Shahabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan
bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam
dan telah bagus keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi
Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama
dengan hadist marfu’. 3 Atau paling kurang adalah Mauquf. 4
Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan
masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode
ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir
terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas,
Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar
tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli.
Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya
5
yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin
Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila
terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil
atas pendapat yang lainnya. 5
Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah
yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan
sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara
terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran
ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary,
Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan
mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat
dan para tabi’in. Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya
dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini
menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang
menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat
kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika
mentafsirkan ayat

ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari
ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Periode Keempat,
pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar
Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan
dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini
juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar
6
fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar
sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan
seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut
suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis
oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-
Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-
Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.
Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:
Pertama, Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih)
dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-
Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat
dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti
dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi
inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir
yang menggunakan metode ini adalah :
1. Tafsir At-Tobary (



) terbit 12 jilid
2. Tafsir Ibnu Katsir (

) dengan 4 jilid
3. Tafsir Al-Baghowy (

)
4. Tafsir Imam As-Suyuty ( !
ب
% !
&
) terbit 6 jilid.
Kedua, Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah).
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan
beberapa syarat diantaranya:
1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah
7
2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus
menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya :
1. Tafsir AlHQurtuby H "8
K LM N. O
2. Tafsir AlHJalalain H :
RO >S T
3. Tafsir AlHBaidhowy H % Z0
[ "36 % \0
[ ,]6 .
Ar-Ro’yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang),
karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan
istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang
tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan
oleh para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan
keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak
dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang
menggunakan metode ini adalah:
1. Tafsir Zamakhsyary (






)
2. Tafsir syiah “Dua belas” seperti (
ن
"#$ % ن

&

' ()
* + ,)
$ -
"
% (
juga
+
.% -
$+(
/0
ب
$
2 )3
3. Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir 4
$ ,)5 ) $ 5 0
'


$


+
6&
$
*,7% ب
SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN
Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-
Qur’an.
2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan
pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat
hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
8
3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an,
kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
4)- Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun
dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak
menguasai bahasa arab“.
5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan)
suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an
seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu
kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macammacam
bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul,
kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan
lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :
1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata.
Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin
Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal
kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).
2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang
lain
3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang
dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali
setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan
maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang
sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul,
makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut
9
balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri
dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
CONTOH KITAB TAFSIR DAN METODOLOGI PENULISANNYA
Nama Kitab :
$
6# $ 50 ت
+
.%
atau yang lebih dikenal dengan
tafsir al-Tabary.
Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H)
Jumlah jilid : 12 jilid besar.
Keistimewaannya : Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin
terutama penafsiran binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath
hukum, penjabaran berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara
detail disertai analisa yang tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan terbagus.
Metodologi Penulisannya:
Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil
pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat
tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu persatu dengan dalil dan
riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat
kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari
segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat
hukum jikalau ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy
dalam bukunya “Thobaqah al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan
ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan
tentang hukum-hukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata)
sekaligus maknanya, menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah
hukum dan tafsir kemudian memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob
kata-kata, mengkonter pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan
kejadian hari kiamat dan lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh
dengan hikmah dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari
10
isti’adzah sampai abi jad (akhir ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku
mengarang sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab
mengandung satu disiplin keilmuan dengan keajaiban yang mengagungkan akan
diakuinya (karangan tersebut).
2. Tafsir Ibnu Katsir
Nama kitab : 9 :3

$
$ 50 ت lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir.
Jumlah jilid : 4 Jilid
Nama penulis : Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)
Keutamaanya : Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan
metode bil ma’tsur.
Metodologi penulisannya:
Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil
perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan
mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan
membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan
hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan
penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara
beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau
yang dhoif(lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan
ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan
mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam
Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;”
Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.
3. Tafsir Al-Qurtuby
11
Nama kitab :
$
2
.%
;

Jumlah jilid : 11 jilid dengan daftar isinya.
Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H).
Keutamaanya : Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling
banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan
istimbat dalil, serta menerangkan I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh”.
Metode penulisannya :
Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan
hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masingmasing.
Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil.
Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga
I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik) dengan
mazhabnya yaitu mazhab Maliki.
4. Tafsir Syinqithy
Nama kitab :
$
ب
$
<
/ =
+
>
ض#
Jumlah jilid : 9 jilid.
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi penulisannya:
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan
qiro’ah syadz (lemah) untuk istisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih
dengan terperinci, dengan menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan
mentarjih berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah bahasa dan usul
fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian
dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad
Salim.
12
Refrensi:
1 Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi
Ulumi al-Qur’an hal : 323.
2 Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-
Mufashirun, (Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405) hal. 8
3 Marfu’ adalah perkataaan atau perbuatan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad
4 Mauquf adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada para
shohabat
5 majmu’ fatawa syaikhul Islam ibnu taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi
ulumul al-qur’an ole mann’ al-qotton hal ; 340-342

PENAFSIRAN AL-QUR'AN





Umum

Al Qur’anul Karim adalah kitab Allah yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w., mengandungi hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan yang mengaturkan tingkah laku dan tatacara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu atau pun sebagai makhluk sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Al Qur’anul Karim dalam menerangkan hal-hal yang tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti berhubungan dengan hukum perkahwinan, hukum warisan dan sebagainya, dan ada pula dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja.

Yang diterangkan secara umum dan garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi Muhammad s.a.w., dan ada yang diserahkan kepada kaum Muslimin sendiri memperincinya sesuai dengan keperluan suatu kelompok manusia, keadaan. masa dan tempat, seperti dalam soal kenegaraan. Al Qur’an mengemukakan "prinsip musyawarah" adanya suatu badan yang mewakili rakyat, keharusan berlaku adil dan sebagainya.

Di samping itu agama Islam membuka pintu ijtihad bagi kaum Muslimin dalam hal yang tidak diterangkan oleh Al Qur’an dan hadits secara qath ‘1 (tegas). Pembukaan pintu ijtihad inilah yang memungkinkan manusia memberi komentar, memberi keterangan dan mengeluarkan pendapat tentang hal yang tidak disebut atau yang masih umum dan belum terperinci dikemukakan oleh Al Qur’an. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri beserta sahabat-sahabat beliau adalah orang-orang yang menjadi pelopor dalam hal ini, kemudian diikuti oleh para tabi’ien, para tabi’it tabi’ien dan generasi-generasi yang tumbuh dan hidup pada masa-masa berikutnya.

Memang, pada masa hidup Rasulullah s.a.w., keperluan tentang tafsir Al Qur’an belumlah begitu dirasakan, sebab apabila para sahabat tidak atau kurang memahami sesuatu ayat Al Qur’an, mereka dapat terus menanyakannya kepada Rasulullah. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. selalu memberikan jawapan yang memuaskan. Setelah Rasulullah s.a.w. meninggal, apalagi setelah agama Islam meluaskan sayapnya ke luar jaziratul Arab, dan memasuki daerah-daerah yang berkebudayaan lama, terjadilah pertembugan antara agama Islam yang masih dalam bentuk kesederhanaannya di satu pihak, dengan kebudayaan lama yang telah mempunyai pengalaman, perkembangan serta kekuatan daya juang di pihak yang lain.

Di samping itu kaum Muslimin sendiri menghadapi persoalan baru, terutama yang berhubungan dengan pemerintahan dan pemulihan kekuasaan berhubung dengan meluasnya daerah Islam itu. Pergeseran, pertembungan dan keperluan ini menimbulkan persoalan baru. Persoalan baru itu akan dapat dipecahkan apabila ayat Al Qur’an ditafsirkan dan diberi komentar untuk menjawab persoalan-persoalan yang baru timbul itu. Maka tampillah ke muka beberapa orang sahabat dan tabi’ien memberanikan diri mentafsirkan ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum dan global itu, sesuai dengan batas-batas lapangan berijtihad bagi kaum Muslimin.

Demikianlah, tiap-tiap generasi yang mewarisi kebudayaan dari generasi sebelumnya; keperluan suatu generasi berlainan dan hampir tidak sama dengan keperluan generasi yang lain. Begitu pula perbedaan tempat dan keadaan, tidak dapat dikatakan sama keperluan dan keperluannya, sehingga timbullah penyelidikan dan pengolahan dari apa yang telah didapat dan dilakukan oleh generasi-generasi yang dahulu, serta saling tukar menukar pengalaman yang dialami oleh manusia pada suatu daerah dengan daerah lain; mana yang masih sesuai dipakai, mana yang kurang sesuai dilengkapi dan mana yang tidak sesuai lagi diketepikan, sampai nanti keadaan dan masa diperlukan pula.
Begitu pula halnya tafsir Al Qur’an; ia berkembang mengikuti irama perkembangan masa dan memenuhi keperluan manusia dalam suatu generasi, Tiap-tiap masa dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir Al Qur’an yang sesuai dengan keperluan dan keperluan generasi itu dengan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama Islam sendiri. Dalam pada itu ilmu Tafsir sendiri yang dahulu merupakan sebagian dari ilmu Hadits telah berkembang bersama dengan ilmu-ilmu yang lain. Sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu yang lain, maka di dalam ilmu Tafsir terdapat pula aliran-aliran dan perbedaan pendapat yang timbul karena perbedaan pandangan dari segi meninjaunya, sehingga sampai pada saat ini terdapat puluhan, bahkan ratusan kitab-kitab tafsir dari berbagai-bagai aliran, sebagai hasil karya dari generasi-generasi yang sebelumnya. Dalam menghuraikan perkembangan kitab-kitab tafsir dan ilmu Tafsir dapat dibahagi kepada tiga zaman:
a. Zaman mutaqaddimin.
b. Zaman mutaakhirin.
c. Zaman baru.

Perbezaan sahabat dalam memahami al-Quran
• Al Qur’anul Karim diturunkan dalam bahasa Arab, kerana itu pada umumnya orang-orang Arab dapat mengerti dan memahaminya dengan mudah. Dalam pada itu para sahabat adalah orang-orang yang paling mengerti dan memahami ayat-ayat Al Qur’an, akan tetapi para sahabat itu sendiri mempunyai tingkatan yang berbeza-beza dalam memahami Al Qur’an. Hal ini terutama disebabkan perbezaan tingkatan pengetahuan serta kecerdasan para sahabat itu sendiri. Sebab-sebab yang lain menyebabkan perbezaan tingkatan para sahabat dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an ialah:
• 1. Sekalipun para sahabat orang-orang Arab dan berbahasa Arab, tetapi pengetahuan mereka tentang bahasa Arab berbeza-beza, seperti berbeza-bezanya pengetahuan para sahabat tentang sastra Arab, gaya bahasa Arab, adat istiadat dan sastra Arab Jahiliyah, kata-kata yang terdapat dalam Al Qur’an dan sebagainya. sehingga tingkatan mereka dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an berbeza-beza pula.
2. Ada sababat yang sering mendampingi Nabi Muhammad saw, sehingga banyak mengetahui sebab-sebab ayat-ayat Al Qur’an diturunkan dan ada pula yang jarang mendampingi beliau. Pengetahuan tentang sebab-sebab Al Qur’an diturunkan itu, sangat diperlukan untuk mentafsirkan Al Qur’an. Kerana itu sahabat-sahabat yang banyak pengetahuan mereka tentang sebab Al Qur’an diturunkan itu, lebih mampu mentafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dibandingakan dengan yang lain.
Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut: Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab telah mengangkat Qudamah sebagai gabenor Bahrain. Dalam suatu peristiwa datanglah Jarud mengadu kepada Khalifah Umar, bahwa Qudamah telah meminum khamar dan mabuk. Umar berkata: "Siapakah orang lain yang ikut menyaksikan perbuatan tersebut?" kata Jarud:
"Abu Hurairah telah menyaksikan apa yang telah kukatakan". Khalifah Umar memanggil Qudamah dan mengatakan: "‘Ya Qudamah! Aku akan mendera engkau!". Lalu berkata Qudamah: "Seandainya aku meminum khamar sebagaimana yang mereka katakan, tidak ada suatu alasan pun bagi engkau untuk mendera". Umar bertanya: "Kenapa?" jawab Qudamah: "Kerana Allah telah berfirman dalam surat (5) Al Maaidah ayat 93:
Artinya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan rnengerjakan amalan yang saleh, kerana memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Sedang saya adalah orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, kemudian bertakwa dan beriman, saya ikut bersama Nabi Muhammad saw. dalam perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq dan peperangan yang lain." Umar berkata: "Apakah tidak ada di antara kamu sekelian yang akan membantah perkataan Qudamah?". Berkata lbnu Abbas: "Sesungguhnya ayat 93 surah (5) Al Ma-aidah diturunkan sebagai melindungi umat di masa sebelum ayat 90 ini diturunkan, kerana Allah berfirman:
Surat (5) Al Maa-idah ayat 90 (yang bermaksud):
Artinya:
• "Hal orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum khamar, berjudi. (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji; termasuk perbuatan syaitan. Kerana itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar mendapat keberuntungan (kejayaan)".
Berkata Umar: "Benarlah lbnu Abbas."
• Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa lbnu Abbas lebih mengetahui sebab-sebab dlturunkannya ayat 93 surah (5) Al Maa-idah dibanding dengan Qudamah. Sebab menurut riwayat Ibnu Abbas, bahwa setelah ayat 90 surat (5) Al Maa'idah diturunkan, sahabat-sahabat saling menanyakan tentang keadaan para sahabat yang telah meninggal, padahal mereka dahulu sering meminum khamar seperti Sayidina Hamzah, bapa saudara Nabi yang gugur sebagai syuhadaa pada perang Uhud. Ada sahabat yang mengatakan bahawa Hamzah tetap berdosa kerana perbuatannya yang telah lalu itu. kerana itu turunlah ayat 93 surah (5) Al Maa-idah, yang menyatakan bahawa umat Islam yang meninggal sebelum turunnya ayat 90 surah (5) Al Maa'idah tidak berdosa kerana meminum khamar itu, tetapi umat sekarang berdosa meminumnya.
3. Perbezaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang adat istiadat, perkataan dan perbuatan Arab Jahiliyah. Para sahabat yang mengetahui haji di masa Jahiliyah akan lebih dapat memahami ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan haji. dibanding dengan para sahabat yang kurang tahu.
4. Perbezaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jaziratul Arab, pada waktu suatu ayat Al Qur’an diturunkan. Sebab suatu ayat diturunkan ada yang berhubungan dengan penolakan atau sanggahan terhadap perbuatan-perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu. akan lebih dapat memahami ayat-ayat tersebut dibanding dengan yang tidak mengetahui.

Sumber tafsir pada masa ini
• Pada zaman ini petafsiran Al Qur’an bersumber pada:
• 1. Perkataan, perbuatan, taqrir dan jawapan Rasulullah saw terhadap soal-soal yang dikemukakan para sahabat apabila kurang atau tidak dapat memahami maksud suatu ayat Al Qur’an. Tafsiran yang berasal dari Rasulullah ini disebut "Tafsir manquul’
Seperti: diriwayatkan bahwa Raaulullah s.aw. bersabda: "Ashshalaatul wusthaa" dalam surah (2) Al Baqarah ayat 238 maksudnya ialah: sembahyang asar. Contoh lain ialah: Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku menanyakan kepada Rasulullah s.a.w. tentang Yaumul Hajjl Akbar", dalam surat (9) At Taubah ayat 3, Rasulullah s.a.w. menjawab: "Yaumun nahr."
Tafsir yang berasal dari sabda, perbuatan, taqrir dan jawapan Rasulullah terhadap soal-soal yang diajukan ini, didapati dalam bentuk hadits, yang mempunyai sanad-sanad tertentu. Sebagaimana halnya hadits, maka sanad ini ada yang saheh, yang hasan, yang dhaif, yang maudhu' dan sebagainya. Begitu pula sering didapati maknanya bertentangan dengan khabar yang mutawatir, bahkan bertentangan dengan akal fikiran. Oleh sebab itu apabila hadits tafsir ini akan digunakan untuk metafsirkan ayat-ayat Al Qur’an, perlu diadakan penelitian lebih dahulu, apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak.
2. Ijtihad. Diantara para sahabat dan tabi’ien dalam metafsirkan Al Qur’an, di samping menggunakan hadits-hadts Nabi, juga menggunakan hasil fikiran mereka masing-masing; mereka berijtihad dalam menetapkan maksud suatu ayat. Hal ini mereka lakukan kerana mereka mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan bahasa Arab, mengetahui tentang sebab-sebab suatu ayat diturunkan, mengetahui adat istiadat Arab Jahiliyah dan tentang Cerita-Cerita Israiliyaat dan sebagainya.
Contohnya ialah: kata ‘Aththuur" dalarn ayat 63 surah (2) Al Baqarah ditafsirkan dengan tafsiran yang berbeza. Mujahid mentafsirkannya dengan "gunung", sedang Ibnu Abbas mentafsirkannya dengan "gunung Thuur" dan sebagainya.
Di samping itu ada pula di antara sahabat dan tabi’ien yang tidak mahu mentafsirkan Al Qur’an menurut ijtihad mereka, seperti Said bin Musayyab ketika ditanya tentang mentafsirkan Al Qur’an dengan ijtihad, beliau menjawab: "Saya tidak akan mengatakan sesuatu tentang Al Qur’an."
3. Cerita-cerita Israiliyaat: ialah berita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum Muslimin banyak mengambil cerita dari lsrailiyaat ini, sebab Nabi Muhammad s.a.w sendiri pernah berkata: "Bila dikisahkan kepadamu tentang ahli Kitab janganlah dibenarkan dan jangan pula dianggap dusta". Maksudnya ialah supaya kaum Muslimin menyelidiki lebih dahulu tentang kebenaran cerita-cerita yang dikemukakan oleh ahli Kitab. Setelah nyata kebenarannya barulah diambil sebagai pegangan.

Ahli tafsir pada zaman ini
• Pada zaman sahabat terkenal beberapa orang pentafsir Al Qur’an termasuk para Khalifah sendiri, iaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib Sahabat-sahabat yang paling banyak mengambil riwayat daripadanya ialah: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan Ubayy bin Ka’ab. Yang agak kurang orang mengambil riwayat daripadanya ialah:
• Zaid bin Tsabit, Abu Musa al Asy'ary, Abdullah bin Zubair dan sahabat-sahabat yang lain.
• Para tabi’ien yang banyak meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang masyhur ialah Mujahid, ‘Alha’ bin Rabab (27-114 H), ‘Ikrimah (25-105 H) dan Sa'id bin Jubair (45-94 H). semuanya adalah murid-murid Ibnu Abbas sendiri. Tentang murid-murid Ibnu Abbas yang empat orang ini para ulama mempunyai penilaian yang berlainan. Mujahid adalah orang yang mendapat kepercayaan dari ahli hadits. lmam Syafi’ie, Bukhari dan imam-imam yang lain banyak mengambil riwayat daripadanya. Di samping itu ada pula orang yang mengkritiknya kerana sering berhubungan dengan ahli Kitab, tetapi kritik itu tidak mengurangi nilai beliau. Demikian pula halnya ‘Atha’ bin Rabab dan Sa’id bin Jubair. Adapun ‘Ikrimah banyak orang yang mengambil riwayat daripadanya. Dia berasal dari suku Barbar di Afrika Utara, serta bekas budak Ibnu Abbas, kemudian setelah dia dimerdekakan, terus berguru kepada beliau. Para ahli tafsir mempunyai penilaian yang berlainan terhadap ‘Ikrimah. Pada umumnya ahli-ahli tafsir mengambil riwayat beliau setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti. Bukhari sendiri banyak juga mengambil riwayat dari ‘Ikrimah.
• Diantara para tabi’ien yang banyak meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ialah Masruq bin Ajda’, seorang yang zuhud lagi kepercayaan, keturunan Arab dari Bani Hamdan, tinggal di Kufah. Kemudian Qatadah bin Di’aamah, seorang Arab yang tinggal di Basrah. Keistimewaan Qatadah ialah bahwa beliau menguasai bahasa Arab, pengetahuannya yang luas tentang sya’ir-sya’ir, peperangan-peperangan Arab Jahiliyah. Beliau adalah orang yang ahli tentang salasilah bangsa Arab Jahiliyah. Qatadah adalah orang kepercayaan, hanya sengaja sebahagian ahli tafsir keberatan menerima riwayat beliau yang berhubungan dengan Qadha dan Qadar.
• Pada zaman ini belumlah didapati kitab-kitab tafsir, kecuali kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh orang-orang yang terakhir di antara mereka, iaitu orang-orang yang mendapati masa tabi’it tabi’ien, seperti Mujahid (meninggal tahun 104 H) dan lain-lain.
• Sesudah datang angkatan tabi’it tabi’ien barulah ditulis buku-buku tafsir yang melengkapi semua surah-surah Al Qur’an. Buku-buku tafsir yang mereka tulis itu mengandungi parkataan-perkataan sahabat dan tabi’ien.
• Di antara tabi’it tabi’ien yang menulis tafsir itu ialah: Sufyan bin Uyainah,Yazid bin Harun, Al Kalbi, Muhammad lshak, Muqatil bin Sulaiman, Al Waqidi dan banyak lagi yang lain-bin.
• Penulis tafsir yang terkenal pad zaman itu ialah Al Waqidi (meninggal 207 H), sesudah itu lbnu Jane Aththabary (meninggal 310 H). Tafsir lbnu Jarir adalah tafsir mutaqaddimin yang paling besar dan sampai ke tangan generasi sekarang, namanya ialah Jaami’ul Bayaan. Para pentafsir yang datang kemudian banyak mengutip dan mengambil bahan dari tafsir lbnu Jarir itu.

Zaman Mutaakhirin (Abad ke 4 H hingga ke 12 H)
• Setelah agama Islam meluaskan sayapnya ke daerah-daerah yang berkebudayaan lama, seperti Persia, Asia Tengah, India, Syiria. Turki, Mesir, Etiopia dan Afrika Utara, terjadilah pertembungan dan pergeseran antara kebudaysan Islam yang masih dalam bentuk sederhana dengan kebudayaaan lama yang sudah diolah, berkembang serta mempunyai kekuatan dan keuletan.
• Maka sejak waktu itu mulailah kaum Muslimin mempelajari pengetahuan- pengetahuan yang dimiliki oleh pengnut-penganut kebudayaan tersebut. Kerana ltu mulailah kaum Muslimin mempelajari ilmu logika, ilmu Falsafah, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu kedoktoran dan sebagainya, sehingga dalam beberapa waktu saja telab dapat dimiliki dan dibukukan ilmu-ilmu gaya bahasa, ilmu keindahan bahasa dan segala hal yang berhubungan dengan ilmu bahasa..
• Perubahan ini menimbulkan pula perubahan dalam penyusunan dan pemikiran tentang kitab-kitab tafsir. Ahli-ahli tafsir tidak lagi hanya mengutip riwayat dari sahabat, tabien dan tabi’it tabi’ien saja, tetapi telah mulai bekerja, menyelidik. meneliti dan membanding apa-apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang yang terdaholo dari mereka. Tidak hanya sampai demikian saja, bahkan para mufasir telah mulai mentafsirkan dari segi gaya bahasa, keindahan bahasa. tata bahasa, di samping mengolah dan mentafsirkan ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan pengetahuan- pengetahuan yang telah mereka miliki. kerana itu terdapatah kitab-kitab tafsir yang dikarang dan ditinjau dan berbagai-bagai segi yaitu:
• 1. Golongan yang meninjau dan mentafsirkan Al Qur’an dari segi gaya bahasa dan keindahan bahasa. Yang menyusun secara ini ialah Az Zamakhsyari dalam tafsirnya Al Kasysyaaf kemudian diikuti oleh Baidhawy.
2. Golongan yang meninjau dan mentafsirkan Al Quran dari segi tata bahasa, kadang-kadang mereka menggunakan syair-syair Arab untuk mengukuhkan pendapat mereka, seperti Az Zajjaad dalam tafsirnya: Ma’aanil Qur’an; Al Waahadi dalam tafsirnya: Al Basiith; Abu Hayyaan Muhammad bin Yusuf al Andalusi dalam tafsirnya: Al Bahrul Muhiith.
3. Golongan yang menitik beratkan perbahasan mereka dari segi kisah-kisah dan cerita-cerita yang terdaholo termasuk berita-berita dan cerita-ceriita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, bahkan kadang-kadang berasal dari kaum Zindik yang ingin merosak agama Islam. Dalam menghadapi tafsir yang sepenti ini sangat diperlukan penelitian dan pemeriksaan oleh kaum Muslim sendlri. Yang mentafsirkan Al Qur’an secara ini yang paling terkenal ialah Atsa Tsa’labi, kemudian ‘Alaauddin bin Muhammad Al Baghdaadi (wafat 741 H), tafsir Al Khaazin juga termasuk golongan ini .
4. Golongan yang mengutamakan pentafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum: menetapkan hukum-hukum fikh. Pentafsiran yang seperti ini telah dilakukan oleb Al Qurthuby dengan tafsirnya: Jami’ Ahkaamul Qur’an; Ibnul Araby dengan tafsirnya: Ahkaamul Qur’an, Al Jashshaash dengan tafsirnya: Ahkaamul Qur’an, Hasan Shiddiq Khan dengan tafsirnya: Nailul Maraam.
5. Golongan yang mentafsirkan ayat-syat Al Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat itu seakan-akan berlawanan dengan sifat-sifat kesucian dan ketinggian Allah. Lalu dengan pentafairan itu teranglah bahwa ayat-ayat itu tidak berlawanan dengan sifat-sifat Allah yang sesungguhnya. Pentafsir yang terkenal mentafsirkan ayat seperti tersebut di atas ialah Imam Ar Razy (meninggal 610 H) dengan tafsirnya: Mafa’tihul Ghaib.
6. Golongan yang menitikberatkan pentafsirannya kepada isyarat-isyarat Al Qur’an yang berhubungan dengan ilmu solok dan tashawwuf, seperti tafsir:
Ar Tasturi, susunan Abu Muhammad Sahl bin Abdullah At Tasturi.
7. Golongan yang hanya memperkatakan lafazh Al Qur'an yang gharib (yang jarang terpakai dalam perkataan sehari-hari), seperti kitab Mu'jam Ghariibil Qur’an, nukilan Muhammad Fuad Abdul Baaqi dari Shaheh Bukhari.
• Di samping itu masih kita dapati kitab-kitab tafsir seperti dari:
• 1. Aliran Mu'tazilah, Banyak sekali, bahkan ratusan kitab-kitab tafsir yang dikarang menurut aliran ini sesuai dengan dasar-dasar pokok aliran Mu’tazilah. Tetapi yang sampai kepada generasi sekaang amat sedikit sekali jumlahnya, seperti Kitab Majaalisusy Syariff al Murtadba. Menurut pendapat sebahagian ahli tafsir kitab Majaalisusy Syariif al Murtadha bernafaskan aliran Syi’ah Mu’tazilah. Kumpulan tafsir ini sekarang telah dicetak di Mesir dengan nama Amali Al Murtadha.
2. TafsirAliran Syi’ah.
Kaum Syi’ah banyak menghasilkan kitab-kitab tafsir. Pentafsiran mereka ditujukan kepada pengagungan Ali dan keturunannya, penghinaan terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman dan sebagainya. Mereka berani melakukan ta'wil yang jauh sekali untuk kepentingan aliran mereka.

Zaman baru
• Zaman ini dapat dikatakan dimulai sejak akhir abad ke 19 sampai saat ini. Penganut agama Islam seteah sekian lama ditindas dan djajah bangsa Barat telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana umat Islam telah merasakan agama dihinakan, dan menjadi alat permainan. serta kebudayaan mereka telah dirosak dan dinodai.
• Maka terkenallah modenisasi Islam yang dilakukan di Mesir oleh tokoh-tokoh Islam Jamaluddin al-Afghani dan murid beliau Syekh Muhammad Abduh. Di Pakistan dan di India dipelopori oleh Sayid Ahmad Khan. Gerakan modenisasi ini tidak hanya di Mesir dan Pakistan saja, tetapi telah menjalar di Indonesia, yang dipelopori oleh H.O.S. Cokroaminoto dengan Syarikat Islamnya, kemudiin K.h. Ahmad Dahlan yang terkenal dengan perkumpulan Muhamadiyahnya dan K.H. Hasyim Asy'ari yang tekenal dengan perkumpulan Nahdatul Ulama dan A.Hasan dengan persatuan Islamnya.
• Bentuk modernisasi Islam pada masa ini telah menggali kembali Api Islam yang telah hampir padam, membela agama Islam dari serangan sarjana-sarjana Barat. Dalam usaha membela agama Islam dari serangan Barat ini, kaum Muslimin mempelajari pengetahuan-pengetahuan kemajuan-kemajuan , bahkan tradisi yang dipakai oleh Barat untuk dijadikan alat penangkis serangan-serangan itu.
• Begitu pulalah kitab tafsir yang dikarang daalam zaman ini, mengikuti garis perjuangan dan jalan fikiran kaum Muslimin pada waktu itu, seperti halnya tafsir al Manor, yang ditulis oleh Rasyid Ridha. tafsir Mahaasinut ta'wil susunan Syekh JamaIuddin Al Qasimi, tafsir, Jawahir oleh Thanthawi Jauhari dan tafsir yang lain yang tidak sedikit jumlahnya.
• TafsirAl Qur’an dalam bahasa Indonesia.
• Usaha mentafsirkan Al Qur’an dalam balsasa Indonesia telah dllakukan oleh para ulama Islam Indonesia. Sampai sekarang telah ada beberapa kitab tafsir Al Qur’an yang diterbitkan selengkapnya. A. Halim Hasan baru dapat menyelesaikan enam setengah juz dan yang enam juz telah diterbitkan oleh "Pustaka Islamiyah Medan". Kitab tafsir yang telab mulai diterbitkan, sejak tahun 1936 ini, menurut pengarang-pengarangnya banyak mengutip pendapat-pendapat ahli tafisr yang terdapat pada ahli tafsir yang berbahasa Arab. Tafsir An Nur karangan Prof. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, mulai diterbitkan tahun 1956, dan telah selesai diterbitkan oleh penerbit "Bulan Bintang" Jakarta. Kitab tafsir ini, merupakan tafsir Al Qur’an yang pertama yang lengkap dalam bahasa Indonesia, kerana telah selesai dikerjakan seluruhnya oleh pengarangnya. Dr. H. Abdul Malik Karim Amirullah (HAMKA) menyusun tafsir Al-Azhar (30 juz) tahun 1973. Di samping itu terdapat kitab-kitab tafsir yang lain dalam bahasa Indonesia yang lengkap atau belum merupakan tafsir Al Qur’an seluruhnya.
• Dalam Pelita I (1969) Penafsiran Al Qur’an adalah termasuk salah satu projek yang diutamakan, sebagaimana halnya Penterjemahan Al Qur’an yang dilaksanakan oleh Departmen Agama R.I. Untuk pelaksanaannya maka dlbentuklah Dewan Penyelenggara Pentafsir Al Qur’an (SK Menteri Agama No. 90 tahun 1972). Dewan ini telah menyelesaikan tugasnya dan akhirnya "Al Qur’an dan Tafsirnya" dapat diterbitkan (dalam 10 jilid dan 1 jilid muqaddimah).





PENAFSIRAN AL QURAN
Metode Penafsiran Al-Qur’an

Faktor-Faktor yang mempengaruhi metode penafsiran
Pertama: Selama masa para khalifah, umat Islam telah terjalin hubungan dengan negara-negara yang dikuasainya, sehingga tercipta hubungan antara mereka dengan para tokoh dari bermacam-macam agama dan aliran.
Kedua: Pada akhir-akhir abad pertama kekuasaan Bani Umayyah, hingga masa kekuasaan Bani Abbasiyah banyak buku filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga ilmu logika dan filsafat Yunani banyak mewarnai umat Islam dalam mengkaji keislaman.
Ketiga: Dalam waktu yang sama juga tersebar ilmu tasawuf sebagai tandingan ilmu filsafat, dan manusia cenderung pada ilmu-ilmu agama melalui pelatihan-pelatihan jiwa tanpa kajian-kajian logika yang mendalam.
Keempat: Saat itu masih banyak ahli hadis yang beribadah berdasarkan makna-makna hadis secara lahiriyah, tanpa mengkaji secara mendalam nilai-nilai sastranya.
Karena itu, pada abad kedua ulama Islam terbagi menjadi empat kelompok: teolog, filosuf, sufi, dan ahli hadis. Mereka hanya bersatu dalam kalimat syahadat, mereka berbeda pendapat dan pandangan dalam hal misalnya: makna Asma Allah, sifat dan perbuatan-Nya; makna langit dan isinya, qadha’ dan qadar, kemerdekaan dan keterpasaan, kematian, alam barzakh dan kiamat, surga dan neraka. Sebab itulah, mereka mempunyai metode yang berbeda-beda dalam mengkaji dan menafsirkan Al-Qur’an. Setiap kelompok memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan metode mereka masing-masing, guna melestarikan dan menonjolkan mazhabnya.
Para ahli hadis, mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hanya berdasarkan riwayat-riwayat yang bersumber dari pendahulunya yaitu para sahabat dan tabi’in. Sehingga mereka fanatik dan hanya berpegang teguh pada riwayat-riwayat pendahulunya tanpa mau mengkaji berdasarkan ayat-ayat Allah swt:
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman pada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (Ali-Imran: 7)
Mereka salah dalam hal itu, karena dalam Al-Qur’an Allah tidak melarang menggunakan akal sebagai hujjah. Bagaimana mungkin Allah melarangnya sedangkan Dia memerintahkannya dalam kitab-Nya. Di sisi lain, Allah tidak pernah memerintahkan untuk mengikuti pendapat para sahabat dan tabi’in, apalagi yang saling bertentangan satu sama lain, dan yang tak dapat dipertanggung-jawabkan. Bahkan Allah meniadakan semuanya.
Yang Allah perintahkan adalah merenungi ayat-ayat-Nya agar perbedaan pendapat yang disebabkan oleh mereka tidak mengakar dan tersebar. Allah menjadikan “perenungan” sebagai petunjuk, cahaya dan penjelas bagi setiap sesuatu. Maka bagaimana mungkin cahaya itu dapat bersinar tanpa perenungan dan pemikiran yang mendalam. Mana mungkin petunjuk Ilahi bisa memancar dari selain cara ini, dan bagaimana mungkin cahaya Al-Qur’an bisa nampak jelas tanpa cara ini.
Para teolog sebenarnya dipengaruhi oleh bermacam-macam pendapat kemazhaban sehingga mewarnai penafsiran mereka, dan dalam menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Perbedaan pendapat setiap mazhab disebabkan oleh perbedaan pijakan metode dan teori ilmiah, atau hal-hal yang lain seperti taklid buta dan fanatik kesukuan. Sehingga penafsiran mereka dan metode kajiannya jauh dari harapan sebagai tafsir dan tak layak disebut penafsiran, yang tepat disebut sebagai “penyesuaian”.
Dari sinilah jelas bahwa penafsiran ayat-ayat Al-Quran ada dua macam:
Pertama: Apa yang dijelaskan oleh Al-Qur’an itu sendiri?
Kedua: Bagaimana cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an agar sesuai dengan mazhab mufassirnya?
Dua metode ini perbedaannya jelas: Yang pertama, melepaskan kepentingan-kepentingan mazhabnya dan menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Yang kedua, membuat sendiri kaidah-kaidah penafsiran agar hasil penafsirannya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penafsirnya, paling tidak sesuai dengan pendahulunya. Cara penafsiran yang kedua sudah jelas, tujuannya bukan suatu kajian tentang makna Al-Qur’an itu sendiri.
Para filosuf juga tidak jauh berbeda dengan para mufassir dari kalangan para teolog. Mereka berusaha menyesuaikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan dasar-dasar filsafat Yunani kuno (yang terbagi ke dalam empat cabang: matematika, natural rains, ketuhanan dan hal-hal yang praktis termasuk hukum). Terutama filosuf yang beraliran Paripatetik (Al-Masyaiyun), mereka menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hal-hal yang metafisik, ayat-ayat penciptaan, peristiwa-peristiwa langit dan bumi, ayat-ayat tentang alam Barzah dan hari kiamat. Sehingga tidak sedikit filosuf muslim yang terperangkap dengan sistem filsafat tersebut, mereka meninggalkan kajian-kajian yang berkenaan dengan astronomi universal maupun parsial, keteraturan unsur-unsur alam, hukum-hukum astronomi dan unsur-unsur lainnya yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Kelompok sufi, mereka disibukkan oleh aspek-aspek esoterik penciptaan, memperhatilcan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan kejiwaan tanpa memperhatikan alam nyata dan ayat-ayat yang yang berkaitan dengan astronomi. Kajian mereka hanya menfokuskan pada takwil, meninggalkan Asbabun nuzul ayat-ayat Al-Qur’an. Pola mereka inilah yang membawa manusia pada pola takwil dan penafsiran dalam ekspresi puitis, menggunakan sesuatu sebagai dalil untuk membenarkan sesuatu yang lain. Begitu buruknya kondisi ini sehingga ayat-ayat Al-Qur’an hanya ditafsirkan berdasarkan jumlah angka dan huruf; surat-suratnya dibagi berdasarkan cahaya dan kegelapan, kemudian mereka menafsirkannya berdasarkan pembagian itu.
Sebagaimana dimaklumi bahwa Al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk memberi petunjuk pada kaum sufi, tidak hanya diperuntukkan untuk mengetahui jumlah nilai angka surat-surat Al-Qur’an. Ilmu-ilmu Al-Qur’an bukan untuk disesuaikan dengan perhitungan astrologi yang dibuat oleh ahli nujum yang mengutip dari Yunani dan lainnya, sesudah buku-buku mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Sehubungan dengan persoalan tersebut banyak disebutkan di dalam hadis Rasulullah saw dan para imam Ahlul Bait (sa) misalnya:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini mempunyai makna lahir dan batin, satu makna batin mempunyai tujuh atau tujuh puluh batin…”
Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (sa) memperhatikan makna lahir Al-Qur’an sebagaimana mereka memperhatikan makna batinnya, mereka memperhatikan Asbabun nuzulnya sebagaimana memperhatikan takwilnya. Insya Allah kami akan menjelaskannya pada awal Surat Ali Imran, yakni tentang yang dimaksud dengan takwil adalah makna yang bertentangan dengan bahasa yang berlaku di kalangan umat Islam setelah turunnya Al-Qur’an dan tersebarnya Islam; dan bahwa kata takwil yang dikehendaki Al-Qur’an, yang terdapat di dalam ayat-ayatnya, adalah bukan dari sisi makna dan pengertiannya.
Di abad modern ini bertebaran metode baru penafsiran Al-Qur’an disebabkan oleh beberapa tokoh Islam yang terpengaruh oleh ilmu-ilmu natural, ilmu-ilmu inderawi dan eksperimental, dan ilmu-ilmu sosial yang didasarkan pada eksperimen statistik. Mereka cenderung pada filsafat materialisme Barat, atau pada pragmatisme.
Akibat terpengaruh oleh teori-teori yang anti Islam, mereka mempropagandakan bahwa ilmu-ilmu Islam tidak mungkin bertentangan dengan metode yang ditetapkan oleh sains; tidak ada satu pun wujud, kecuali material dan inderawi. Karena itu ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak sesuai atau bertentangan dengan sains, seperti Arasy, Kursi, Lawh dan Al-Qalam, semuanya harus ditakwil. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak bertentangan dengan sains seperti adanya hari kiamat, walaupun begitu, ia harus disesuaikan dengan kaidah-kaidah material.
Adapun hal-hal yang ditetapkan oleh syariat seperti wahyu, malaikat, setan, nubuwah, risalah, imamah dan lainnya, mereka menganggapnya sebagai persoalan ruhiyah. Sedangkan ruh itu sendiri menurut mereka adalah material dan bagian dari hal-hal yang inderawi. Karena itu ketetapan syariat menurut mereka merupakan manifestasi dari masalah-masalah sosial yang khusus, yang hukum-hukumnya harus didasarkan pada pemikiran yang baik agar tercapai tujuan masyarakat yang baik.
Kemudian mereka mengatakan: Tidak dibenarkan berpegang teguh dengan hadis-hadis kecuali yang sesuai dengan Al-Qur’an. Sedangkan Al-Qur’an tidak boleh ditafsirkan berdasarkan ra’yu dan mazhab-mazhab terdahulu yang menggunakan dalil-dalil akal. Karena dalil-dalil itu telah digugurkan oleh sains yang didasarkan pada inderawi dan eksperimen, bahkan Tifsir Al-Qur’an itu harus ditinggalkan kecuali yang telah dibenarkan oleh sains.
Inilah pemyataan-pemyataan yang dikemukakan oleh para pengikut metode inderawi dan eksperimental. Pola inilah yang mewamai mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dan di sini kami tidak akan membicarakan dasar-dasar ilmiah dan filosufis mereka. Kami hanya akan memaparkan sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh para mufassir pendahulu mereka. Yakni penafsiran yang sifatnya penyesuaian. Mereka merujuk pada metode pendahulunya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa penafsiran yang terbaik adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an di samping dengan sains.
Dengan kata lain, apa yang harus dilakukan jika mereka belum berhasil menemukan makna-makna Al-Qur’an yang dapat disesuaikan dengan teori-teori ilmiah? Maka saat itulah mereka menyesuaikan metodenya dengan metode pendahulunya, menganggap maslahat hal-hal yang mafsadat.
Jika anda menggunakan akal yang sehat tentang cara pengutipan kitab-kitab tafsir pada umumnya, maka Anda akan jumpai: bahwa mereka telah bekerjasama dalam kelemahan dan kekurangan akibat argumen-argumen ilmiah dan filosufis, yang tidak sesuai dengan dalil-dalil Qur’ani, atau menyesuaikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hal-hal yang eksternal. Karena itu metode mereka lebih tepat disebut “penyesuaian” bukan penafsiran atau kajian tafsir. Sehingga bagi mereka realitas-realitas Qurani merupakan simbol-simbol, dan Asbabun nuzul beberapa ayatnya menjadi takwil-takwil.
Sebagaimana telah kami isyaratkan bahwa Al-Qur’an ini telah mendefinisikan dirinya: Pemberi petunjuk pada alam semesta, cahaya yang terang dan penjelas bagi setiap sesuatu. Al-Qur’an menjadi petunjuk bersama pendampingnya, bersinar bersama pendampingnya dan memberi penjelasan bersama pendampingnya. Lalu siapakah pendampingnya? Bagaimana keadaannya? Dengan apa ia memberi petunjuk padanya? Siapa yang dijadikan rujukan jika terjadi perbedaan pendapat? Di sinilah letak perbedaan yang sangat jauh di kalangan mufassir.
Mengapa perbedaan ini melahirkan pandangan yang berbeda dalam memahami kata atau kalimat ayat-ayat Al-Qur’an menurut bahasa arab dan ‘urfi bahasanya. Padahal Al-Qur’an jelas berbahasa Arab, tidak sulit untuk dipahami oleh bangsa arab dan non-arab yang
telah benar-benar mengenal secara baik bahasa arab berikut kontek kalimatnya.
Tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang musykil, dan tak jelas untuk dipahami maknanya. Mengapa? Sebab Al Qur’an menggunakan bahasa yang paling fasih. Dari segi syarat kefasihan bahasa, bahasa Al-Qur’an tidak mengandung kemusykilan dan ketidakjelasan, sekalipun ayat-ayat tertentu yang Mutasyabih seperti nasikh-mansukh dan lainnya. Dari segi mafhum sudah jelas tujuannya. Yang mutasyabih hanya dalam maksudnya, dan itupun jelas. Perbedaan itu hanya terjadi dalam soal Mishdaq (ekstensi)nya, dan sesuatu yang dituju oleh konsep dan ekstensi.
Di sini perlu ditegaskan bahwa dalam hidup ini kita telah terbiasa, misalnya: ketika mendengar suatu kata, pikiran kita mendahului maknanya dengan makna yang material atau sesuatu yang berkaitan dengan materi. Sedangkan materi merupakan sesuatu yang mengalami perubahan dalam tubuh kita, dan kekuatan kita yang berhubungan dengannya hanya dalam kehidupan di dunia. Karena itu ketika kita mendengar kata hidup, ilmu, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, ucapan, kehendak, ridha, ciptaan dan lainnya, maka yang mendahului dalam pikiran kita adalah makna yang berkaitan dengan wujud-wuju
d materi.